Cerita Sri, Guru di Bali Pendamping Korban Kekerasan

  • Mei 19, 2025

Ni Ketut Sri Wahyuni, S.Pd., saat berbagi pengalaman mendampingi korban kekerasan. (Kompas.com/Ni Ketut Sudiani)

Denpasar - Ni Ketut Sri Wahyuni, S.Pd., masih sangat ingat ketika mendampingi korban kekerasan seksual. Sosok 60 tahun ini didatangi orang-orang berbadan besar yang meminta dipertemukan dengan korban dengan dalih meminta maaf.

Sedikitpun Sri tak merasa takut dengan segala intimidasi yang diterima. Sri tetap maju walaupun secara perawakan, orang-orang yang mendatanginya badannya sangat besar, tinggi, dan menakutkan. “Mereka mencoba memberi saya sesuatu. Membawa bingkisan. Tapi saya tidak mau. Pokoknya apapun yang terjadi, saya sudah tidak takut mati,” tutur Sri.

Orang-orang itu terus menerus memaksa Sri untuk memberi tahu posisi korban. Mereka mencoba menekan Sri dan mengatakan mereka kenal dengan pejabat, nama-nama penting dan terkenal.

“Mereka mencoba mengacaukan pikiran saya. Tapi saya tetap fokus. Tidak takut. Saya bilang, kalau ada apa-apa, langsung saja ke pengacara pendamping korban,” ucapnya di Tabanan, Sabtu (17/5/2025).

Momen menegangkan itu tidak akan pernah Sri lupakan selama menjadi paralegal. Sesungguhnya saat itu sangat mudah bagi Sri mau menerima pemberian pihak pelaku. Namun nuraninya teguh berpihak kepada korban. Bagaimana Sri, seorang guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Selemadeg Barat di Tabanan bisa memiliki keberanian sebesar itu?

Panggilan kemanusiaan dan didikan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC). Itulah yang mendorong Sri tak pernah berhenti. Ketika suaminya mengemban tugas sebagai kepala desa, Sri kerap mendengar masyarakat mengalami kekerasan dan dihadapkan pada berbagai masalah.

Sri turut membantu menolong korban, hingga mendampingi pelaporan ke kepolisian. Itu pula yang membuat Sri ingin membantu masyarakat. Menurutnya, selama ini warga, terutama perempuan yang tinggal di desa dan tidak memiliki uang, bingung kemana harus melapor.

Mereka tidak paham apa yang harus dilakukan sehingga akhirnya memilih diam dan semakin terpuruk. Menjadi paralegal meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, Sri bisa membantu sesama menjadi pendamping korban. Sri meyakini, paralegal yang berasal dari akar rumput, justru lebih paham apa yang terjadi di lapangan.

“Dalam menjalankan misi sosial ini, jika pun dalam perjalanannya saya mati. Tidak apa-apa. Jika sekarang saya mati, berarti besok saya tidak lagi mati,” ucap Sri lugas dan lantang.

Sebagai seorang pendidik, Sri juga kerap berbagi pengalamannya kepada komunitas. Dengan cara itu, ia berharap perempuan-perempuan lain bisa paham dasar hukum, mendapat keberanian untuk melapor, serta ke depannya membantu korban lain.

Sri berbagi pengalaman dalam Lokakarya Pembelajaran Bersama antar Paralegal di Kubu Bali WCC, Kabupaten Tabanan pada Sabtu (17/5/2025). Program tersebut dalam rangkaian Program Solidaritas Emansipasi untuk Kerja Advokat Responsif (SEKAR) yang diadakan LBH Bali WCC.