Ironi Kekeringan di Bangli, Sumber Berlimpah tapi Warga Sulit Akses Air
Menjaga setetes air hari ini, berarti menyelamatkan kehidupan generasi esok. (Freepik)
Denpasar - Kabupaten Bangli, Bali, menjadi penyuplai air terbesar untuk daerah lainnya di Bali. Namun, puluhan tahun lamanya, bahkan hingga saat ini, masih banyak wilayah di Bangli yang dilanda kekeringan dan sulit mendapat akses air bersih.
Kondisi itu diakui oleh I Made Ari Pulasari, Asisten I Sekda Kabupaten Bangli. Dia mengungkapkan bahwa krisis air memang sangat rentan dan sering terjadi, terutama di wilayah Kintamani.
Padahal, Kintamani termasuk area pariwisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan asing.
“Kintamani merupakan daerah ketinggian dan sumber air sangat terbatas. Kondisi ini sangat genting dan vital,” jelas Ari saat Focus Group Discussion (FGD), di Kabupaten Bangli, Jumat (15/8/2025).
Menurutnya, saat ini Bupati Bangli tengah memperjuangkan Bendungan Sidan. Bendungan ini berada di wilayah Kabupaten Badung, Gianyar, dan Bangli.
“Sumber air di Bali mungkin 80 persen berasal dari Bangli, khususnya Bunutin. Namun, sedikit pun kita tidak bisa menikmati karena mengalir, dibendung untuk kebutuhan kabupaten lain, di Badung, Kodya, Tabanan, dan Gianyar,” tegasnya.
Ari mengatakan, krisis air ini juga berpotensi menyebabkan terjadinya bentuk kekerasan yang lain. Terutama perempuan dan anak-anak yang paling rentan dan berisiko.
“Memang air sahabat ibu-ibu yang sangat vital. Terutama kalau tidak ada air, pasti ibu yang paling kena masalah. Mulai dari bangun, menyiapkan untuk anak-anak, bapak, dan keperluan rumah tangga,” kata Ari.
Beberapa kasus konflik air juga masih terjadi di Bali. Hanya saja diakuinya secara hukum sulit ditangani dan tidak ada kepastian untuk memberikan keputusan final.
“Lima tahun yang lalu, masalah air di Kutuh, Bangli, dengan Singaraja. Saat ini juga belum selesai masalah air di Siakin dengan Les. Dari pihak Les mengklaim, sumber air di Kutuh itu sudah ada bisame (aturan) dari dulu,” kata dia.
FGD bertajuk “Tantangan Hukum dalam Kekerasan Berbasis Gender dan Akses Air Bersih di Bali” itu diadakan serangkaian Kampanye dan Advokasi Air untuk Pemberdayaan Perempuan di Bali.
Ni Nengah Budawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC), menginisiasi program itu.
Budawati menekankan pentingnya keterkaitan antara isu keadilan gender dan hak atas air.
“Akses air bersih bukan sekadar persoalan teknis infrastruktur, tetapi menyangkut hak asasi, keadilan ekologis, dan keadilan gender,” ujar Budawati.
FGD ini menurutnya juga untuk menyusun langkah bersama agar perlindungan hukum bagi perempuan dan masyarakat terdampak benar-benar hadir dan dirasakan.