KAPAS: Mengatasi Ketidaksetaraan dan Mengurangi Kekerasan Berbasis Gender

  • Feb 15, 2025

Inisiator KAPAS yang juga Direktur LBH BWCC, Ni Nengah Budawati (memegang mic) memberi sambutan (Foto: Diah)

Bali Tourism Now - Ketidaksetaraan dan kekerasan berbasis gender masih terjadi di masyarakat. Karena itu, perlu langkah konkret untuk mengatasinya. Peningkatan kesadaran tentang pentingnya hak perempuan atas air bersih serta perlindungan hukum perlu menjadi perhatian.

“Atas dasar itu, program KAPAS (Kampanye dan Advokasi Air untuk Pemberdayaan Perempuan di Bali) menggelar Diskusi Publik Mengakhiri Kekerasan Berbasis Gender: Perspektif Hak atas Air dan Akses Hukum,” kata inisiator KAPAS, Ni Nengah Budawati, Jumat 14 Februari 2025.

Diskusi publik ini berlangsung di Kubu Bali WCC, Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hak perempuan atas air bersih serta perlindungan hukum.

Budawati yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC), yang terpilih menjadi salah satu JusticeMakers Fellows di bawah program JusticeMakers Perempuan 2024.

JusticeMakers Perempuan 2024 ditujukan bagi para perempuan pengacara pembela pidana untuk mendukung dan berkontribusi pada perbaikan sistem peradilan di Indonesia. “Program ini oleh International Bridges to Justice (IBJ) dan didanai oleh European Union (Uni Eropa),” sebutnya.

Budawati kemudian menjelaskan, program KAPAS lahir dari masih terdapatnya ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya, seperti air bersih. Ketidakadilan dalam akses air bersih sering kali terkait dengan peminggiran perempuan yang berujung pada ketidaksetaraan gender.

Ni Ketut Sudiani menyampaikan hasil penelitian LBH BWCC persoalan akses air bersih (Foto: Diah)

Termasuk dan berkontribusi pada rentannya perempuan terhadap kekerasan berbasis gender (gender-based violence/GBV). “Perempuan di banyak komunitas memiliki peran sentral dalam mengelola air untuk kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.

Ketidakcukupan akses air, akan berdampak pada kesehatan dan meningkatkan risiko kekerasan baik secara fisik maupun emosional. Ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya, seperti air bersih memperkuat siklus diskriminasi. Sebut saja, di wilayah terpencil atau pedalaman, perempuan sering kali harus berjalan jauh untuk mendapatkan air yang meningkatkan risiko kekerasan dalam perjalanan, juga di rumah akibat stres dan ketegangan yang dihasilkan dari kelangkaan sumber daya.

“Peningkatan kesadaran hukum dan advokasi terhadap akses air bersih menjadi fokus utama program KAPAS, tidak hanya demi pemberdayaan perempuan, tetapi juga mengurangi risiko kekerasan berbasis gender melalui akses lebih adil terhadap sumber daya ini,” ujarnya.

Budawati menambahkan, program ini tidak hanya berfokus pada kekerasan berbasis gender dalam lingkup akses ke sumber daya air, tetapi juga pada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender lainnya di ranah domestik, publik dan sosial. “Termasuk menyediakan layanan bantuan hukum,” imbuhnya.

Narasumber diskusi, Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengatakan, negara memiliki kewajiban untuk memastikan akses air bersih yang adil dan setara bagi perempuan. Termasuk ketimpangan akses ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia.

“Hal itu, juga dapat memperburuk kerentanan perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi,” ungkapnya.

Narasumber Peneliti dari LBH BWCC, Ni Ketut Sudiani menyampaikan, hasil penelitian LBH BWCC tentang persoalan akses air bersih dalam kerangka pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan.

Berdasarkan temuan lapangan dari studi kasus yang dilakukan di wilayah Kabupaten Bangli, disimpulkan bahwa penting mengatasi ketimpangan akses sumber daya air melalui peningkatan kesadaran dan advokasi.

“Kami berharap, program KAPAS ini dapat menjadi aksi untuk mewujudkan perempuan lebih terlindungi dari kekerasan akibat ketidaksetaraan struktural. Edukasi kepada komunitas terutama perempuan tentang hak-hak mereka dalam mengakses air bersih,” ucap Sudiani.

Hal ini, akan menjadi langkah penting dalam mendorong perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Maka, diskusi ini menegaskan bahwa kesadaran dan advokasi terhadap hak perempuan atas air bersih perlu semakin diperkuat.

Termasuk mendorong terciptanya akses yang lebih adil dan setara, serta mengurangi kekerasan berbasis gender. “Komitmen untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan terus menjadi langkah penting dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik di masyarakat,” paparnya.