Keadilan Gender melalui Pemenuhan Hak atas Air dan Akses Hukum

  • Luh Putu Kusuma Ririen
  • Feb 15, 2025

Akses terhadap air bersih adalah hak asasi manusia yang mendasar, namun di Bali banyak masyarakat terutama perempuan dan kelompok minoritas, belum menyadari hak-hak mereka terkait layanan dasar ini. Ketidakadilan dalam akses air bersih sering kali terkait dengan peminggiran perempuan yang berujung pada ketidaksetaraan gender dan berkontribusi pada rentannya perempuan terhadap kekerasan berbasis gender (gender-based violence/GBV).

Berdasarkan pada situasi tersebut, Ni Nengah Budawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC), menginisiasi program KAPAS (Kampanye dan Advokasi Air untuk Pemberdayaan Perempuan di Bali). Ni Nengah Budawati terpilih menjadi salah satu JusticeMakers Fellows di bawah program JusticeMakers Perempuan 2024, diselenggarakan dan didukung sepenuhnya oleh International Bridges to Justice (IBJ) dan European Union (Uni Eropa).

JusticeMakers Perempuan 2024 ditujukan bagi para perempuan pengacara pembela pidana untuk mendukung dan berkontribusi pada perbaikan sistem peradilan di Indonesia. Ni Nengah Budawati melalui lembaga yang dibentuknya pada tahun 2012, yaitu LBH BWCC, aktif menyuarakan isu kesetaraan gender, advokasi kebijakan terkait hak-hak perempuan baik secara lokal dan nasional, dan kampanye publik untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kegiatan diskusi publik dalam rangka program KAPAS. (Foto: LBH BWCC, 2025)

Program KAPAS secara khusus dirancang untuk peningkatan kesadaran hukum dan advokasi terkait akses air bersih, yang tidak hanya bertujuan untuk memberdayakan perempuan, tetapi juga mengurangi potensi terjadinya kekerasan berbasis gender melalui akses yang lebih adil terhadap sumber daya esensial ini.

Melalui program KAPAS, kegiatan Diskusi Publik 'Mengakhiri Kekerasan Berbasis Gender: Perspektif Hak atas Air dan Akses Hukum' diselenggarakan pada 14 Februari 2025 di Tabanan, Bali. Tujuan utama acara diskusi publik adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hak perempuan atas air bersih serta perlindungan hukum, dengan harapan dapat menghasilkan langkah-langkah konkret untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mengurangi kekerasan berbasis gender di masyarakat.

Ni Nengah Budawati, Direktur LBH BWCC (kanan), memberikan sambutan pada kegiatan diskusi publik. (Foto: LBH BWCC, 2025)

“Perempuan di banyak komunitas memiliki peran sentral dalam mengelola air untuk kebutuhan rumah tangga. Ketidakcukupan akses air tidak hanya berdampak pada kesehatan mereka, tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan baik secara fisik maupun emosional,” ungkap Ni Nengah Budawati dalam sambutannya pada pembukaan acara.

Ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya seperti air bersih memperkuat siklus diskriminasi. Di wilayah terpencil atau pedalaman, perempuan sering kali harus berjalan jauh untuk mendapatkan air, yang meningkatkan risiko kekerasan dalam perjalanan atau bahkan di rumah akibat stres dan ketegangan yang dihasilkan dari kelangkaan sumber daya.

“Program ini tidak hanya berfokus pada kekerasan berbasis gender dalam lingkup akses ke sumber daya air, tetapi juga pada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender lainnya di ranah domestik, publik dan sosial, termasuk menyediakan layanan bantuan hukum,” Ni Nengah Budawati menambahkan.

Acara diskusi publik digelar dengan menghadirkan para narasumber, antara lain Veryanto Sitohang (Komisioner Komnas Perempuan), Ni Ketut Sudiani (Peneliti LBH BWCC), dan I Made Suwitra (Bendesa Adat Desa Penatahan dari Kabupaten Tabanan). Kegiatan diskusi publik dimoderatori oleh I Made Kariada (Advokat LBH BWCC), peserta kegiatan berasal dari berbagai pihak dan kalangan masyarakat, seperti perwakilan pemerintah daerah, aparatur desa, akademisi, jaringan LSM pemerhati perempuan dan lingkungan, komunitas perempuan dan anak muda, serta media massa lokal.

Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, dalam pemaparannya menyampaikan, “Negara memiliki kewajiban untuk memastikan akses air bersih yang adil dan setara bagi perempuan. Ketimpangan akses ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk kerentanan perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.”

Ni Ketut Sudiani, peneliti LBH BWCC (kiri) dan Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan (kanan). (Foto: LBH BWCC, 2025)

Dalam diskusi publik ini juga dipaparkan hasil penelitian LBH BWCC tentang persoalan akses air bersih dalam kerangka pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan temuan lapangan dari studi kasus yang dilakukan di wilayah Kabupaten Bangli, disimpulkan bahwa penting mengatasi ketimpangan akses sumber daya air melalui peningkatan kesadaran dan advokasi. Program KAPAS diharapkan dapat menjadi aksi untuk mewujudkan perempuan lebih terlindungi dari kekerasan akibat ketidaksetaraan struktural.

Dalam konteks lokal di Bali, diskusi ini juga menyoroti pentingnya penguatan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya air khususnya di tingkat desa adat. Hukum adat di Indonesia diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pengakuan ini menunjukkan bahwa hukum adat tetap memiliki peran penting dalam tata kelola sumber daya (termasuk air) bagi komunitas adat yang masih menjalankan tradisi mereka. Penguatan hukum adat di tingkat lokal dapat berkontribusi pada konservasi air dan mencegah terjadinya krisis air akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan industri dan pariwisata yang tidak berkelanjutan.

Krisis air tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya dapat menjadi faktor pemicu kekerasan terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas yang mengedepankan keadilan gender dan hak atas sumber daya air menjadi langkah krusial untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, berkelanjutan, dan setara bagi semua.

Kegiatan diskusi publik diikuti oleh peserta dari berbagai elemen masyarakat. (Foto: LBH BWCC, 2025)

Edukasi kepada komunitas terutama perempuan tentang hak-hak mereka dalam mengakses air bersih menjadi langkah penting dalam mendorong perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Diskusi ini menegaskan bahwa kesadaran dan advokasi terhadap hak perempuan atas air bersih perlu semakin diperkuat, mendorong terciptanya akses yang lebih adil dan setara, serta mengurangi kekerasan berbasis gender yang masih menjadi tantangan besar. Komitmen untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan terus menjadi langkah penting dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik di masyarakat.