Krisis Air di Sumber Air Bali: Perempuan Jadi Korban Terparah
- Pembahasan krisis air terus memantik isu-isu lain di Bali. Di antaranya akses air dan dampaknya pada perempuan.
- Makin banyak desa-desa yang menjaga dan memiliki sumber air kesulitan akses air.
- Kesenjangan akses air ini makin nyata ketika mendengar kisah para perempuan yang menghabiskan waktu mencari air di tempat-tempat sulit.
- Akses air yang sulit membuat penghasilan berkurang, memicu kekerasan dalam rumah tangga, dan lainnya.
Mongabay.co.id - Krisis air terbanyak di Bali adalah ketidakadilan distribusi air. Pemilik atau pelindung sumber air malah kebanyakan susah akses air karena hambatan infrastruktur. Kini, ada gerakan perempuan mengakses air karena tidak bisa mendapat air memicu kekerasan dalam rumah tangga dan kehilangan sumber penghasilan.
Wayan Rasmini contohnya. Selama berumah tangga, pengrajin keranjang bambu ini merasa waktunya habis mengambil air di sungai yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya di Kintamani, Bangli. Daerah ini terkenal sebagai sumber air dalam tanah dan permukaan seperti di bebukitan dan Danau Batur.
Apalagi kebanyakan temannya bekerja sebagai buruh tani. Jika waktu banyak habis maka penghasilan mereka berkurang. Rasmini perlu banyak air tak hanya untuk keluarga juga ternak sapinya. Paling banyak hanya bisa mengambil 4 ember per hari. Jika sedang tak bisa mengambil air, ia membeli air tangki sekitar Rp240 ribu per truk. “Waktu saya habis mengambil air sambil gendong anak ke dasar jurang. Saya kesal bagaimana cara menaikkan air,” keluhnya.
Berita baik pun tiba. Lembaga Bantuan Hukum LBH Bali Women Crisis Center (WCC) yang kerap berkegiatan di Kintamani mendengar keluhan perempuan ini. Setahun terakhir studi lokasi dan berbagai diskusi dilakukan untuk mencari solusi menemukan sumber air terdekat dan menariknya ke rumah-rumah warga. “Saya diberi kabar penelitian air, ayo kita coba siapa tahu bisa berubah,” harap Rasmini.
Selain penelitian lapangan, warga juga melakukan upaya spiritual dan ritual permohonan air. Upaya ini berhasil. Sebuah sumber air ditemukan dan ketika coba ditarik dengan mesin, menyembur deras. Sebanyak 20 KK kini mendapat air dengan pemipaan ke rumah-rumah.
Para perempuan membuat kelompok perempuan Subak Taksu untuk mengelola dan merawat sumber air dan infrastrukturnya. Tiap KK dikenakan uang beban Rp10 ribu/bulan dan biaya pemakaian air tergantung kilometer. “Saya sekarang hanya perlu bayar Rp20 ribu, air langsung mengucur di rumah. Sangat bersyukur bisa bekerja dengan tenang di rumah,” sebut Rasmini.
Pembuatan sumur sebagai akses air bersih untuk warga. Foto: LBH Bali WCC
Ketut Madani, warga Kedisan, Bangli yang juga pegiat LBH Bali WCC menceritakan sejak kecil mandi dan mengambil air untuk sehari-hari dari Danau Batur. Namun, ia heran kenapa hotel dan restoran sekitar danau bisa mengakses air bersih dan bukan air danau?
Karena itulah ia bersemangat mencoba mendukung proyek skala kecil, mencari titik desa yang sangat membutuhkan dan punya sumber air di wilayahnya. Menurutnya, akses air sangat terkait dengan akses perempuan pada kesehatan reproduksi, kesehatan anak, sampai memicu kekerasan dalam rumah tangga akibat biaya beli air dan kekerasan seksual pada rumah tangga tanpa toilet.
Pengelolaan Air Berbasis Komunitas Perempuan
Kisah dari Konyel, Desa Kedisan, Kintamani ini menjadi isu air bersih ke advokasi lingkungan untuk konservasi dan pemenuhan hak dasar. Nengah Budawati, Direktur LBH Bali WCC memaparkan ke para pihak untuk meluaskan upaya pengelolaa sumber air berbasis komunitas perempuan.
Program pengembangan infrastruktur sumber daya air responsif gender melingkupi penyediaan akses terhadap air baku yang umumnya jauh dan sulit dicapai. Peningkatan akses informasi atas kualitas air baku, sungai, waduk, dan embung, partisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan dan pemeliharaan sumber air, dan pelibatan perempuan dalam pemeriksaan baku mutu air. Berikutnya adalah pelibatan perempuan sebagai tenaga pendamping masyarakat, dan sebagai petugas pengamat dan juru irigasi.
Kantor Komisi Tinggi HAM PBB pada tahun 2010 menguraikan mengenai elemen-elemen penting hak atas air, di antaranya sebagai berikut. Memadai atau cukup, pasokan air untuk setiap orang harus cukup dan berkesinambungan untuk menutupi penggunaan pribadi dan domestik, yang terdiri dari air untuk minum, mencuci pakaian, persiapan makanan, dan kebersihan pribadi dan rumah tangga.
Aman dan dapat diterima, air tersebut haruslah bebas dari mikroba dan parasit, zat kimia, dan bahaya radiologi yang dapat mengancam kesehatan seseorang. Air juga harus bebas dari bau, warna dan rasa untuk memastikan bahwa orang tidak akan memakai air tercemar yang mungkin dapat terlihat lebih menarik.
Denah upaya akses air warga di bebukitan dari sumber air di bawah tebing di Bali. Foto: LBH Bali WCC
Krisis air di Kintamani menurut Budawati sudah memicu konflik sosial. Misalnya ada celetukan warga untuk mencemari air di bendungan Belok Sidan yang berlokasi di Kabupaten Badung, karena airnya dari Kintamani.
Warga di sumber air tak hanya dipaksa melakukan konservasi namun juga menjamin akses air yang mudah. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
Konservasi Sumber Daya Air
Salah satu kegiatan konservasi sumber daya air yang dapat dilakukan adalah perlindungan dan pelestarian sumber air. Kegiatan tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungannya terhadap kerusakan dan gangguan yang disebabkan baik daya alam maupun aktifitas manusia. Kegiatan konservasi ini dilakukan oleh LBH Bali WCC dalam Program Pemantauan Nasional tentang Keadilan Pembangunan yang Responsif Gender dan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan.
Tujuan Program Pemantauan Nasional tentang Keadilan Pembangunan yang Responsif Gender dan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) didukung oleh Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD). APWLD merupakan jaringan advokasi internasional dengan lingkup Asia Pasifik yang mewadahi berbagai organisasi dan individu dari 30 negara dan hingga saat ini memiliki peran memberikan konsultasi kepada pihak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terutama kepada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council).
Dalam SDGs, target Air Bersih dan Sanitasi Layak (SDGs nomor 6), dikaitkan dengan isu Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDGs nomor 3), Kesetaraan Gender (SDGs nomor 5), dan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan (SDGs nomor 8).
Budawati memaparkan, berdasarkan data secara nasional dari Bappenas, dalam lima tahun terakhir indeks kualitas air hanya bergerak dalam rentang 51-53% di mana kualitas air menentukan ketercukupan akses air bersih. Kualitas air sangat beragam di Indonesia, sebagai contoh Bali memiliki kualitas air yang tidak terlalu baik dalam tataran nasional bersama dengan area lainnya, seperti NTT, Jambi, Jawa Tengah, Bengkulu, dan DKI Jakarta.
Danau Batur juga termasuk lansekap subak sebagai sumber air. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Krisis Air Bersih
Agung Parameswara, akademisi dari Universitas Warmadewa dalam diskusi bersama LBH Bali WCC menyitir peneliti lain jika krisis air di sumber air ini sebagai jebakan kemiskinan. Saat ini isu kelas menengah yang dominan seperti macet, sampah. Sementara fasilitas MCK, akses air, tidak banyak dibahas. “Sekitar 70% penghasilan wisata Indonesia dari Bali tapi ironisnya masih banyak masalah kebutuhan dasar air dan sanitasi,” katanya.
Widhiartini, Ketua Program studi gender Universitas Udayana memaparkan pengalamannya mendampingi salah satu kelompok warga petani di Kabupaten Bangli. Para petani mengeluh sulit bertani karena air PDAM tidak lancar. Solusi yang diambil adalah membuat sumur bor yang digunakan secara kolektif. Untuk mengelola sumur bor, warga membuat semacam urunan bersama agar air bisa mengalir ke rumah-rumah warga dan kebun.
Pada 2012 silam, Stroma Cole melakukan penelitian tentang A Political Ecology of Water Equity and Tourism di Bali. Ia menyatakan air untuk pertanian jomplang dengan konsumsi industri pariwisata. Penyebabnya ketidakadilan pendistribusian air di Bali. Ditambah dengan makin maraknya industri air minum dalam kemasan (AMDK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengeksploitasi air permukaan maupun air bawah tanah.
Politeknik Negeri Bali yang melakukan uji kualitas air tanah pada 49 titik di Bali juga menemukan kandungan klor, indikator intrusi air laut cukup tinggi. Misalnya di Badung 73% dari 44 sampel dan Buleleng dengan 68% dari 60 sampel. Salah satu dampak dari eksploitasi air bawah tanah.