Mengurai Tantangan Hukum dalam Kekerasan Berbasis Gender dan Akses Air Bersih di Bali

Ni Nengah Budawati/Foto: Diah
Kampanye dan Advokasi Air untuk Pemberdayaan Perempuan di Bali (KAPAS), kini berlangsung di Kintamani, Bangli. Program ini diinisiasi oleh Ni Nengah Budawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC).
Acara ini dikemas dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) digelar di Restoran Apung, tempat makan yang menawarkan pemandangan alam yang eksotis, Jumat 15 Agustus 2025.
FGD kali ini mengangkat tema ‘Tantangan Hukum dalam Kekerasan Berbasis Gender dan Akses Air Bersih di Bali’ mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari aparatur pemerintah desa, aparat penegak hukum, advokat, organisasi masyarakat sipil, hingga komunitas penyintas.
FGD ini berangkat dari persoalan nyata di lapangan yang ada di Kabupaten Bangli dan di sejumlah wilayah di Bali lainnya. Semua persoalan itu sehubungan dengan permasalahan akses terhadap sumber daya air bersih akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya, dan lemahnya tata kelola.
“Kami sering mendampingi jika ada masalah air, misalnya menurunkan tangki air pada saat krisis air. Masalah ini rentan terjadi di Kintamani karena daerah ini berada di daerah ketinggian dan air terbatas,” kata I Made Ari Pulasari, Asisten I Sekda Kabupaten Bangli mewakili Bupati Bangli saat menyampaikan sambutan.
Menurutnya, situasi tersebut kerap menimbulkan potensi konflik yang, apabila tidak segera diatasi, dapat berkembang menjadi perselisihan, baik antarwarga maupun antara masyarakat dengan pihak-pihak lainnya.
Dalam pusaran masalah ini, perempuan kerap berada di posisi paling rentan, memikul tanggung jawab pemenuhan air bagi keluarga sekaligus terpapar risiko Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di tengah konflik yang berlangsung.
Kegiatan FGD ini merupakan bagian dari Program KAPAS bertujuan untuk menggali tantangan, berbagi praktik baik, dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang responsif gender serta berpihak pada keadilan lingkungan.
LBH BWCC terpilih menjadi salah satu JusticeMakers Fellows di bawah program JusticeMakers Perempuan 2024, ditujukan bagi para perempuan pengacara pembela pidana untuk mendukung dan berkontribusi pada perbaikan sistem peradilan di Indonesia.
Program ini diselenggarakan oleh International Bridges to Justice (IBJ) dan didanai sepenuhnya oleh European Union (Uni Eropa).
Budawati mengatakan, program KAPAS hadir untuk menjawab persoalan mendesak ini dengan menghubungkan isu ketimpangan akses air bersih dan kekerasan berbasis gender. Isu tersebut mencakup kekerasan di ranah domestik dan komunitas.
Termasuk bentuk kekerasan struktural yang menghalangi perempuan dalam memperoleh hak-hak dasarnya. Isu keadilan gender dan hak atas air itu sangat itu sangat terkait. Akses air bersih bukan sekadar persoalan teknis infrastruktur, tetapi menyangkut hak asasi, keadilan ekologis, dan keadilan gender.
FGD ini merupakan ruang bagi para pihak untuk berdialog, mendengarkan pengalaman nyata di lapangan, dan menyusun langkah bersama agar perlindungan hukum bagi perempuan dan masyarakat terdampak benar-benar hadir dan dirasakan,” ujar Budawati.
Budawati juga memaparkan hasil penelitian LBH BWCC tentang persoalan akses air bersih dalam kerangka pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan, termasuk dampak konflik air di komunitas lokal, serta tantangan penegakan hukum dalam kasus kekerasan berbasis gender di wilayah rawan sumber daya air.
Luh Putu Esty Punyantari dari Kejaksaan Negeri Bangli menyampaikan persoalan kekosongan norma hukum terkait perlindungan perempuan dalam isu akses air bersih juga menjadi sorotan belakangan ini.
“Norma tentang ketersediaan air, misalnya, saat ini hanya diatur secara umum dalam Undang-Undang Dasar. Hal ini perlu diperkuat melalui peraturan daerah yang lebih rinci sebagai landasan pelaksanaan di lapangan,” ujarnya.
Esty Punyantari menegaskan, dalam upaya memitigasi potensi dan eskalasi konflik air di Bangli, dinas-dinas terkait memiliki peran strategis untuk memastikan ketersediaan dan akses air bersih bagi seluruh warga, termasuk kelompok yang paling rentan.
Melalui FGD ini, diharapkan lahir pemahaman bersama dan langkah konkret yang dapat memperkuat upaya perlindungan hak atas air bersih serta pencegahan kekerasan berbasis gender, demi terciptanya keadilan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan di Bali.
FGD ini juga menjadi momentum penting untuk membangun kolaborasi lintas sektor dalam mengatasi persoalan akses air bersih dan kekerasan berbasis gender, agar solusi yang dihasilkan benar-benar berpihak pada masyarakat dan kelestarian lingkungan.